“Let
Go”
Karya : Windhy
Puspitadewi
Tokoh :
1. Caraka atau Raka : Pintar dalam bidang pelajaran
IPS, suka menolong, sering berkelahi, keras kepala.
2. Nadya : Cantik, baik hati, kelewat mandiri,
tegas, mudah berteman, pintar.
3. Nathan : Pintar, suka bersikap sinis, berjaga
jarak dengan teman-temannya, sering
bertengkar dengan Caraka.
4. Sarah : Pemalu, penurut.
5. Bu Ratna : Wali kelas Caraka yang perhatian pada
Caraka, sering membantu Caraka dalam menyelesaikan masalahnya.
6. Mama Caraka : Humoris, pandai berbicara, sayang
pada Caraka.
7. Ayah Nathan : Baik.
Sinopsis “Let Go”
Windhy Puspitadewi
Pentas
ini menggambarkan seorang murid dan wali kelasnya sedang duduk di dalam ruangan
wali kelasnya. Wali kelasnya tampak kewalahan menangani sifat muridnya yang
sering bertengkar dengan temannya. Sedangkan murid tersebut tidak kapok meski di
hukum skorsing sekalipun.
Bu
Ratna : “Raka,” (menghela nafas) “Kali ini, kenapa lagi?”
Caraka
: “Mereka duluan yang mengganggu saya.”
Bu
Ratna : “Bukan alasan! Kamu baru empat bulan di sekolah ini, empat bulan Raka!
Dan, kamu sudah berkelahi sebanyak dua kali!”
Caraka
: “Jadi, maksud Ibu, kalau ada yang ganggu saya, saya harus diam saja?” (Rahang
mengeras) (Tangannya tergenggam erat)
Bu
Ratna : “Bukan! Tapi, Ibu ingin kamu membalasnya bukan dengan otot, tapi otak!”
Caraka
: (menyeritkan dahi)
Bu
Ratna : “Ah, sudahlah.” (menggelengkan kepala) “Setelah ini, saya akan
menghadap ke kepala sekolah untuk mendiskusikan hukuman yang cocok buat kamu,
sepertinya skorsing saja tidak cukup.
Pak kepala sekolah tidak begitu suka ada biang kerok di sekolahnya. Motonya: mumpung
masih berupa larva, harus secepatnya dibasmi sebelum menjadi nyamuk dan
menyebarkan penyakit. Kamu mengertikan maksud Ibu, kan?”
Caraka
: (mengangguk pasrah)
Bu
Ratna : “Kamu boleh pergi.”
Caraka
: (beranjak)
Bu
Ratna : “Sebagai wali kelasmu, Ibu sangat tidak ingin kamu dikeluarkan dari
sekolah. Kamu percaya Ibu, kan?”
Caraka
: “Itu pertanyaan retoris?”
Bu
Ratna : (tersenyum)
Caraka pergi dari ruangan Bu Ratna.
Saat ia keluar, ia mendengar suara teriakan. Dengan sigap, Caraka langsung
menghampiri sumber suara tersebut dan bersembunyi.
Nathan
: “Sebenarnya, apa masalah kalian?” (wajah menantang)
Orang
1 : “Jangan kamu pikir karena tampangmu lumayan, kamu bisa seenaknya sendiri
tebar pesona ke sana kemari!”
Nathan
: “Terima kasih atas pujiannya,” (kalem)
Keempat
orang : (muka merah padam) (tangan mengepal erat) (rahang terkatup)
Orang
2 : “KAMU…!!!!” (hampir meninju Nathan)
Nathan
: (menghindari pukulan)
Orang
3 : (memukul Nathan)
Caraka
: (keluar dari tempat persembunyi) (menangkis pukulan orang ketiga)
Keempat
teman sekelasnya : “Siapa kamu?! Jangan ikut campur.”
Caraka
: “Pengecut! Atau, emang sudah budaya sekolah ini selalu main keroyokan?”
Orang
1 : “SIALL!!” (menerjang Caraka)
Orang
2 : “TUNGGU!!”
Orang
1 : “KENAPA?” (nada marah)
Orang
3 : “Dia itu Caraka. Dia anak kelas X yang baru aja bikin babak belur lima anak
basket itu.”
Caraka memandang orang-orang itu
dengan heran. Tidak menyangka hanya karena sebuah rumor, reaksi mereka langsung
berubah 180 derajat. Keempat orang itu membeku.
Orang
1 : “Hei, dengar ya. Kami nggak punya masalah denganmu. Lagian, ini ngga ada
hubungannya sama kamu. Jadi, jangan ikut campur.”
Caraka
: (mengangkat bahu) “Dia teman sekelasku. Bisa dibilang, kami punya hubungan.
Kalau kalian emang mau mengeroyoknya, lakukan di tempat yang nggak bisa aku
lihat atau dengar.”
Orang
1 : (tersenyum sinis) (menatap Nathan) “Kali ini, kau beruntung, tapi kau
dengar sendiri apa kata temanmu barusan, nggak selamanya kau akan seberuntung
sekarang.”
Nathan
: “Wah, aku ngga sabar menunggunya.”
Orang
1 : “Kurang ajar! Lihat saja nanti!”
Keempat orang itupun pergi. Caraka
langsung menoleh menatap Nathan dengan tatapan kau-bodoh-atau-apa?
Caraka
: “Kau itu bodoh atau idiot. Cari mati, ya! Kata-katamu tadi malah bikin mereka
tambah marah.”
Nathan
: “Bukan urusanmu,” (membetulkan kacamata) “Itu kulakukan dengan sengaja.”
Caraka
: “Hah? Buat apa?”
Nathan
: (berjalan pergi)
Caraka
: “Sopan sekali.” (berjalan mengikuti Nathan)
Nathan
: “Kau ingin aku berterima kasih? Aku nggak memintamu membantuku.”
Caraka
: “Oh ya? Tapi, tadi kau kelihatan seperti itu.” (tersenyum mengejek)
Nathan
: “Kalau begitu, kau perlu kacamata”
Caraka
: (diam) (menyesal telah membantu Nathan)
Nathan
: “Sekarang, kau menyesal sudah menolongku?” (seolah-olah dapat membaca pikiran
Caraka)
Caraka
: “Hah?” (berpura-pura tidak mengerti)
Nathan
: “Terima kasih”
Caraka
: “Hah? Aku ngga salah dengar, kan?”
Nathan
: “Puas?”
Caraka
: (memutar bola matanya) “Iya, iya”
Nathan
: “Oh, ya.” (menatap Caraja tajam) “Setelah ini, jangan harap lantas hubungan
kita jadi lebih dekat.”
Caraka
: “Hah?”
Nathan
: “Sampai kapan pun, kita Cuma temen sekelas. Nggak kurang, nggak lebih. Camkan
itu!” (berbalik) (meninggalkan Caraka)
Caraka
: (bengong) “MAKSUDNYA APAAA?!!”
Pentas
menggambarkan suasana ruang Veritas.
Terdapat 2 perempuan dan 2 laki-laki yang merupakan anggota Veritas.
Sarah : “Raka.”
Caraka : “APA?”
Sarah : (kaget) (spontan mundur
selangkah) (wajahnya memucat) (matanya mulai berkaca-kaca) “Nggak perlu membentakku,
aku cuma…”
Caraka : “Aku nggak membentakmu.
Berapa kali aku harus bilang kalau suaraku…” (menghentikan kalimatnya) “Ah!
Sudahlah! Ada perlu apa?”
Sarah : “Aku cuma mau minta tolong…”
(menelan ludah) “Mintakan persetujuan artikel ini sama Bu Ratna.” (menyodorkan
beberapa lembar artikel pada Caraka) (buru-buru kembali ke depan computer)
Caraka : (menyerit) Cewek aneh.
Nathan : “Bukan dia yang aneh, tapi
kau! Kau yang aneh karena nggak juga sadar, suaramu itu menakutkan.”
Caraka : “Suaraku? Tapi, dari dulu,
suaraku emang begini.” (melirik Nathan tajam)
Nathan : (melirik Caraka) “Uuu..,
takuuut…”
Caraka : “KAU!!!”
Nadya : (duduk di depan Caraka dan
Nathan) (menggebrak meja) “DIAM! Bisa nggak, sih, kalian meneruskan
pertengkaran anak SD kalian itu diluar? Aku jadi nggak bisa konsentrasi baca.”
Nathan : “Kamu bisa baca di
perpustakaan.”
Nadya : “Maunya sih begitu, tapi jam
segini perpustakaan sudah tutup dan baru buka besok pukul 8.” (tersenyum)
Nathan : “Kalau begitu, lakukan besok
pagi.”
Nadya : (menatap Nathan marah)
Caraka : (menelan ludah) “Aku.. mau ke
tempat Bu Ratna dulu, ya.” (mengacungkan lembaran artikel) (pergi)
Caraka
sampai di meja kerja Bu Ratna.
Caraka : “Bu Ratna! Saya protes! Saya
lebih baik di-skorsing dua tahun
daripada dihukum kerja paksa kayak gini.”
Bu Ratna : “Skorsing dua tahun?”
(tersenyum geli) “Enak di kamu kalau begitu.”
Caraka : “Tapi, sungguh! Saya sudah
nggak tahan lagi,” (duduk)
Bu Ratna : “Ya ampun, Raka. Kamu baru
sebulan disitu.”
Caraka : “Tapi, rasanya sudah seperti
seabad, Bu! Satu ruangan dengan Zombie berlidah tajam, Ratu Salju, dan si
cengeng penakut itu, entah kenapa bikin jarum jam terasa nggak bergerak ke mana
pun.”
Bu Ratna : (tertawa) “Hebat, bahkan,
kamu sudah punya julukan buat mereka, Ibu nggak menyangka kalian sudah sedekat
itu.”
Caraka : “Berapa lama lagi saya harus
membantu, ah… maksud saya, kerja rodi di redaksi majalah sekolah?” (tampang
memelas)
Bu Ratna : “Mmmm... Nggak lama kok,
Raka, paling-paling sampai kenaikan kelas.”
Caraka : “HAH?!!”
Bu Ratna : “Raka, kamu masih kelas X,
tapi dalam waktu
sebulan kamu sudah berkelahi dua kali.
Jadi, saran Ibu, supaya kamu tidak di-DO, jalani hukumanmu sekarang, oke?”
Caraka : (mengangguk lemas)
Bu Ratna : (menghela nafas) “Jadi, kamu
datang ke tempat saya hanya untuk mengatakan hal itu?”
Caraka : “Ah! Tadi, Sarah menitipkan
ini buat minta approve dari Ibu.”
Bu Ratna : “Oh...” (memperhatikan
lembaran-lembaran artikel)
Caraka : “Bu, kalau saya boleh tanya,”
Bu Ratna : “Apa?”
Caraka : “Sebenarnya, ke mana anggota
redaksi yang lain? Setahu saya, Nathan dan Nadya, kan, bukan anggota redaksi.
Tapi, kenapa mereka yang mengerjakan majalah
sekolah?”
Bu Ratna : (mengangkat wajahnya)(menatap
Raka) “Karena
saya sebagai pembina majalah sekolah membutuhkan bantuan mereka. Dan,
bantuanmu.”
Caraka : (bingung)
Bu Ratna : “Sarah pun sebenarnya bukan
pemimpin redaksi, Dia cuma ketiban sial sebagai satu-satunya murid kelas X di
redaksi majalah sekolah. Senior-seniornya memanfaatkan dia dan membebankan
semua pekerjaan kepada anak itu. Sementara, mereka menghilang dengan alasan
sibuk menghadapi ujian. Suatu hari, Sarah datang kepada saya
sambil menangis. Dia tak sanggup lagi
mengerjakan semuanya sendirian. Itulah sebabnya saya langsung minta bantuan Nathan
dan Nadya sebagai yang terpintar di kelas.”
Caraka : “Kenapa Sarah nggak protes
saja sama senior-seniornya?”
Bu Ratna : “Jangan samakan semua orang dengan dirimu.”
Bu Ratna : “Jangan samakan semua orang dengan dirimu.”
Caraka : “Tapi, Ibu membuat sebuah
kombinasi tim yang aneh, Si Penakut, si Sinis, dan si Keras Kepala sampai kapan
pun nggak akan bisa jadi tim yang kompak.”
Bu Ratna : (tersenyum) “Itulah
sebabnya saya memasukkanmu.”
Caraka : (mengerutkan dahi)
“Memasukkan? Bukannya saya dihukum? Oleh Kepala Sekolah pula.”
Bu Ratna : (menghela napas) “Bukan, Maafkan
Ibu tidak jujur padamu. Sebenarnya, Ibu yang memaksa Pak Kepala Sekolah
memasukkanmu di redaksi majalah sekolah.”
Caraka : “Kenapa?”
Bu Ratna : “Kenapa? Karena, Ibu pikir,
kamu pasti bisa
membuat keajaiban.”
Pentas
menggambarkan suasana kelas. Caraka sedang berdiri di depan kelas sambil
berfikir untuk menyelesaikan soal matematika.
Pak Anung : “ Caraka Pamungkas, kamu
mau berdiri
di situ sampai kapan? Sudah!
Kembali ke tempat dudukmu. Nathan, coba kamu yang jawab.”
Caraka : (menghela nafas lega) (duduk
di bangkunya)
Dhihan : “Bagaimana?”
Caraka : “Parah, Aku
hampir mati berdiri di depan tadi.”
Dhihan : (terkikik pelan)“Masa depanmu
kayaknya bakal suram.”
Caraka : “Berisik! Nggak usah kamu
bilang juga, aku sudah tahu!”
Pak Anung : “Bagus sekali Nathan,
seperti biasanya,” (tepuk tangan)
Dhihan : “Gila! Cuma lima menit, Bukan
manusia. ”
Caraka : “Emang, batas antara genius
dan gila cuma setipis kertas,”
Dhihan : “Ah, kamu cuma sirik aja.”
Caraka : (menghela
napas)(menggaruk-garuk kepala) “Apa katamu aja, deh.”
Pak Anung : “Baik, Kita
sudahi sampai di sini saja. Selamat siang.”
Nadya : (maju ke depan kelas)( memukul-mukulkan
penghapus papan tulis ke meja) “Teman-teman, aku minta waktu
sebentar!”
Seisi kelas : (membeku)
Nadya : “Sebentar lagi akan diadakan
perayaan ulang tahun sekolah kita, Setiap kelas diminta menampilkan suatu
pertunjukan dan wajib mengikuti bazar. Nggak ada ketentuan akan apa yang harus
ditampilkan dan dijual, semua terserah kelas masing-masing. Jadi, ada yang
punya usul tentang apa yang akan kita tampilkan?”
Seisi kelas : (terdiam)
Nadya :
“Baik, Kalau nggak ada, aku sudah membuat
kuisioner untuk diisi. Tolong diisi dengan benar karena kalian jugalah yang
akan melaksanakannya. Tapi, sebelumnya, kita harus terlebih dahulu memilih koordinator
pelaksana. Aku minta yang bersedia menjadi koordinator mengacungkan tangan.
Jangan menunjuk orang lain!”
Seisi kelas : (terdiam)
Nadya :
(mendesah kesal) “Karena nggak ada yang
berani, untuk sementara aku yang menjadi koordinator pelaksana, Ada
yang keberatan?”
Seisi kelas : (menggeleng keras)
Nadya :
“Baik, kalau ada yang ingin ditanyakan,
tanyakan langsung padaku. Kuisioner ini dikumpulkan paling lambat pulang
sekolah hari ini. Setelah selesai kurekap, baru kita diskusikan bagaimana
konsepnya.” (keluar kelas)
Dhihan : “Well, di kelas kita ini, she
is the man.”
Caraka : (mengangguk setuju)
Caraka sedang
berjalan-jalan di lapangan olahraga. Tidak jauh dari tempatnya berjalan, Caraka
melihat Nathan keluar dari kamar mandi dekat lapangan. Mukanya pucat dan tampak
kepayahan. Caraka langsung berlari menghampiri cowok itu.
Caraka : “Hei! Hei!” (mencengkram bahu
Nathan) “Kamu nggak apa-apa?”
Nathan : (menatap Caraka setengah
sadar) “Kamu
siapa?”
Caraka : “Aku Raka, Caraka,” (panik)
Nathan : “Oh... kamu, Ka...”
Caraka : “Kamu kenapa?”
Nathan : “Nggak apa-apa, Aku
cuma lapar.”
Caraka : “Hah!! Lapar sampai kayak
gini? Emang kamu berapa tahun nggak makan? Eh, sudah minum obat?”
Nathan : “Kamu pikir aku kayak gini
gara-gara apa?” (nafas tersenggal-senggal)
Caraka : “Hah? Gara-gara minum obat?”
(mengerutkan kening) Obatmu kedaluwarsa pasti! Aku anter ke UKS, Than!”
Nathan : “BERISIK!”
Nathan : “BERISIK!”
Caraka : (terdiam beberapa
saat)(bangkit) “Terserah apa maumu!”
Nathan : “Tunggu!” (mencengkeram kaki
Raka) “Temani
aku di sini sebentar.”
Caraka : (menatap Nathan dingin)
Nathan : “Aku mohon.”
Caraka : “Oke, apa kata kamu aja.”
(menghela nafas)
Pentas
menggambarkan suasana rental VCD dekat
rumah Caraka.
Caraka : “Flags of Our Father... Flags of Our Father...” (hendak mengambil
VCD)(merasa ada tangan yang ingin mengambil VCD itu juga)(menoleh) “Nadya!”
Nadya :
“Kamu nggak perlu
bereaksi seakan-akan aku ini hantu,”
Caraka : “Kenapa di sini?”
Nadya : (memutar bola matanya) “Apa
yang biasanya kamu lakukan di rental VCD? Beli baju?”
Caraka : “Bukan itu! Maksudku—”
Nadya : (memotong omongan Caraka)
“Kenapa di rental VCD ini? Tentu saja karena tempat ini yang
paling dekat sama rumahku.”
Caraka : “Emangnya, rumah—”
Nadya : “Rumahku di Jalan Yogya,
rumahmu di Jalan Surabaya, kan?”
Caraka :
“Gimana—”
Nadya :
“Bagaimana aku tahu
alamatmu? Aku ini ketua kelas, remember?”
Caraka :
“Kenapa—”
Nadya :
“Kenapa kita nggak pernah
ketemu? Mana aku tahu, kamu pikir kompleks
kita selebar daun kelor?”
Caraka :
“Tunggu! Kok,
kamu bisa membaca pikiranku?!”
Nadya :
“Apa kamu nggak sadar
kalau kepalamu itu transparan?”
Caraka : (mengernyitkan dahi) “Tapi,
kenyataannya, dunia ternyata memang selebar daun kelor. Buktinya, kita sampai
bisa ketemu di sini.”
Nadya: “Ah, sudahlah. Sekarang,
bisakah kamu biarkan aku yang terlebih dulu minjam VCD ini?”
Caraka :
“Nggak!”
Nadya :
“Bukannya cowok itu
seharusnya mengalah sama cewek?”
Caraka :
“Sori, di
zaman sekarang, yang berlaku adalah kesetaraan gender.” (menepis tangan Nadya
dari VCD-nya)
Nadya :
“Sir! You are no gentlement!”
Caraka :
“And you, Miss, are no lady. Don’t think that I hold
that against you.”
Nadya : (membatu) “Kamu... tahu juga...”
Caraka :
“My favourite.”
Nadya :
“Terus? Terus, apa lagi?”
(antusias)(mencengkeram tangan Raka)
Caraka :
“Casablanca,” (melepaskan tangan Nadya pelan-pelan)
Nadya :
“Sutradara favorit?”
Caraka :
“Clint Eastwood. Kamu pikir, ngapain aku ngotot pinjam VCD ini?”
(mengacung-acungkan VCD Flags of Our
Father)
Nadya :
“Oke, kamu mulai
membuatku takut, Jujur aja, Ka, kamu diam-diam mencari
tahu tentang aku, ya?”
Caraka :
“Hah?”
Nadya :
“Casablanca dan Gone with the
Wind bukan film yang umum disukai anak-anak seumuran kita, Apalagi,
kamu.”
Caraka :
“Apa maksudmu dengan
‘apalagi, kamu’?”
Nadya :
“Lagian, biasanya, Steven Spielberg lebih disukai daripada Clint Eastwood, Sudahlah
Ka, ngaku aja, semua persamaan ini terlalu aneh.”
Caraka :
“Hah! Jadi kamu juga suka
Casablanca, Gone with the Wind, dan Clint
Eastwood?!! Dan, kamu kira aku pura-pura suka gara-gara tahu kamu juga
suka?”
Nadya :
“Berhentilah pura-pura
nggak tahu.”
Caraka : “Tapi, aku emang nggak tahu!
Dua film itu emang
favoritku!”
Nadya : (memandang Caraka tidak
percaya)
Caraka : “I stick my neck out for
nobody.”
Nadya : “Nggak kusangka kamu bahkan
rela nonton film itu demi aku.”
Caraka :
“Apa katamu aja, deh.”
Nadya :
“Maaf... maaf... aku
bercanda, aku tahu kamu nggak pura-pura.” (menarik kaus Raka)
Caraka :
“Permintaan maaf
diterima, sekarang b
isa nggak kamu lepasin tanganmu,
melar nih.”
Nadya :
“Sori...” (melepaskan
pegangannya)
Caraka : “Aku duluan,” (berjalan menuju meja penjaga
rental)
Nadya : (keluar dari rental VCD)
Caraka : “Jadi, kamu pinjem apa?”
Nadya : “Nggak ada, orang aku ke sini
cuma mau pinjem yang sekarang di tanganmu itu,”
Caraka : “Oke, kamu duluan yang nonton kalo emang
segitu penginnya nonton film ini.”
Nadya : “Hah?”
Caraka : “Kamu tonton dulu saja, terus
balikin ke aku lagi, Tapi, secepatnya, ya.” (mengacungkan
VCD)
Nadya : “Serius?”
Caraka : “Sekarang iya, tapi nggak
tahu lima detik lagi.”
Nadya : (mengambil VCD yang diacungkan
Raka)
“Kenapa kamu melakukan
ini?”
Caraka : “Kalau nggak mau, ya, udah,”
Nadya : “Aku mau! Thanks.”
(tersenyum)
Caraka : “Manis” (tanpa sadar)
Nadya : “Hah? Manis apanya?”
(memandang Caraka heran)
Caraka : “Senyum. Kalau kamu senyum,
manis juga”
Nadya :
(menatap Caraka sinis)
Caraka :
“Lho, emangnya
kata-kataku salah, ya? Kamu nggak tahu kalau senyummu manis?
Jangan-jangan, selama ini, belum pernah ada yang memberi tahu tentang itu, ya?”
Nadya : (menunduk)
Caraka :
“Wah! Teman-temanmu
selama ini payah.”
Nadya :
“Bukan, Karena,
selama ini, teman-temanku adalah tipe orang yang berpikir sebelum bertindak.”
Caraka :
“Hah! Jadi, maksudmu, aku
ini tipe orang yang bertindak sebelum berpikir?”
Nadya :
“Lho, kamu nggak tahu? Jangan-jangan,
selama ini, belum pernah ada yang memberi tahu tentang itu, ya?”
Caraka :
“Kembalikan VCD-nya! Aku
nggak jadi minjemin ke kamu!” (mencoba merebut VCD dari tangan Nadya)
Nadya :
“Maaf, tapi kamu udah
minjamin ke aku dan laki-laki nggak boleh menarik ucapannya lagi,”
Caraka :
(mengembuskan
napas)(tersenyum)
Caraka
sedang berada di ruangan Bu Ratna.
Bu Ratna : “Raka”
Caraka : “Ada apa, Bu?”
Bu Ratna : “Begini,
Raka, Ibu
mau minta tolong sesuatu.”
Caraka :
“Boleh, tapi lima menit
lagi pelajaran fisika dimulai. Kalau karena membantu Ibu saya terlambat datang,
Ibu yang harus tanggung jawab atas upacara pemakaman saya.”
Bu Ratna : (tersenyum geli) “Jangan
khawatir, Bu Nunuz akan sedikit terlambat. Anaknya tiba-tiba sakit, jadi dia
harus mengantar anaknya itu ke dokter dulu.”
Caraka :
“Wow! Semoga Tuhan
mengampuni saya karena saya merasa senang mendengarnya.”
Bu Ratna : (tertawa) “Kamu ini
keterlaluan, Raka.”
Caraka :
“Ibu belum pernah jadi
muridnya Bu Nunuz, kan?”
Bu Ratna : “Ah,
sudahlah, bukan itu yang mau Ibu bicarakan. Begini, sebentar lagi, akan ada
perayaan ulang tahun sekolah kita. Selain bazaar dan perlombaan, rencananya
akan ada pentas seni dan masing-masing kelas wajib menampilkan sesuatu di
panggung.”
Caraka :
“Lalu, apa hubungannya
dengan saya?”
Bu Ratna : “Kelas
kita akan menyuguhkan pertunjukan musik. Band, tepatnya. Dan, kamu Ibu minta
jadi vokalisnya.”
Caraka :
“Engg... maaf, Bu. Tapi,
sepertinya, tadi saya mendengar Ibu minta saya jadi vokalis?”
Bu Ratna : (mengangguk)
Caraka :
“Saya tidak salah dengar,
ya?”
Bu Ratna : (menggeleng)
Caraka : “IBU PASTI BERCANDA!!!”
Bu Ratna : (menggeleng) “Lagian,
ini semua ide Dhihan cs. Jadi, nanti, soal latihan, Ibu rasa tidak akan menjadi
masalah.”
Caraka :
“Tapi... kalau toh emang
saya terpaksa ikut band ini, saya kan, bisa jadi gitaris saja.”
Bu Ratna : “Ayolah,
Ka. Alfi dan Dhihan lebih jago main gitar dari pada kamu, Terimalah kenyataan.”
Caraka :
“Kenapa kelas kita nggak
menampilkan drama saja, Bu?”
Bu Ratna : “Dan,
kamu mau jadi Cinderella?” (melihat kea rah jam tangan) “Ibu harus mengajar di
kelas lain,” (bersiap pergi) “Oh, ya, karena pentas seni ini ide dari Pak
Kepala Sekolah, you have to take it
seriously. Bagaimanapun, dalam band, seorang vokalis pasti dapat porsi perhatian
yang besar.”
Caraka : (terdiam)
Bu Ratna : “Hidup
tidak pernah adil, Raka,”
Suasana
kelas sangat ribut. Tidak lama kemudian, Bu Nunuz masuk
dengan tergopoh-gopoh setelah semua murid berharap pelajaran fisika hari ini
ditiadakan.
Bu Nunuz : “Maaf
anak-anak, hari ini, Ibu nggak bisa lama-lama. Anak Ibu mendadak sakit.”
Seisi Kelas : (menahan untuk tidak
berteriak kegirangan)
Bu Nunuz : “Tapi, Ibu akan memberi
tugas secara berkelompok. Kelompok terdiri atas dua orang yang akan Ibu
tentukan sendiri secara acak dari absen kalian.” (membaca absen) “Dhihan
Kawekas Nuraga dan Virgo Simbolon.”
Dhihan : “Busyet. Jeruk sama jeruk.
Kenapa aku nggak dipasangin sama cewek aja, sih.”
Caraka : (menyeringai) “Hidup itu
nggak adil, teman.”
Bu Nunuz : “Caraka dan...”
Caraka : (menghela nafas)
Bu Nunuz : “Nathan Jonathan.”
Dhihan : “Hidup itu emang nggak pernah
adil, Ka, terutama sama kamu, huekekekekekek.”
Ketika
menyusuri koridor menuju lapangan parkir,
Caraka mendengar ada seseorang sedang
mengerjakan sesuatu di ruang Veritas. Pukul setengah tujuh malam, dia melirik
jam tangannya.
Caraka : (membuka pintu Veritas
perlahan) “Nadya?”
Nadya : “terkejut”
Caraka : “Ngapain pukul segini masih
di Veritas?”
Nadya :
“Ng-nggak ngapa-ngapain.
Kamu sendiri?”
Caraka : (mengangkat bahu) “Aku habis
main bola, baru mau pulang.”
Nadya :
“Oh...” (sibuk dengan apa
yang sedang dikerjakan)
Caraka :
“Ini semua apaan?”
(melihat tumpukan kertas)
Nadya :
“Data siswa kelas XII,”
Caraka :
“Kenapa ada di sini?”
Nadya :
“Aku harus merekap
semuanya hari ini. Pak Johan minta hasilnya besok pagi,” (nada suara mulai
terdengar panik)
Caraka :
“Woh, aku nggak tahu
kalau Bapak itu sadis banget. Dia kasih kerjaan segini banyak hari ini, tapi
mesti selesai besok. Bukan OSIS tuh namanya, tapi romusha.”
Nadya :
“Bukan, ini bukan salah
Pak Johan. Sebagai Pembina OSIS, dia udah sangat baik, tapi aku yang
mengecewakannya. Dia udah ngasih tugas ini sejak sebulan yang lalu.”
Caraka :
“Kenapa baru kamu bikin
sekarang?”
Nadya :
“Nggak tahu kenapa, akhir-akhir
ini aku sering lupa. Aku terlalu sibuk sama kegiatan yang lain. Manajemen
waktuku jelek banget.”
Caraka :
“Yah, walaupun begitu, yang
kayak gini nggak bisa dikerjain cuma dalam waktu 2-3 jam. Kenapa nggak ngerjain
di rumah aja, sih? Daripada di sini sampai malem?”
Nadya :
“Aku takut kelupaan besok
paginya.”
Caraka : (menyalakan komputer satunya
lagi dan mengambil beberapa tumpukan kertas di meja) “Ini
belum direkap, kan?”
Nadya : “Kamu mau apa?”
Caraka : “Bantu,”
Nadya : “Nggak usah. Aku nggak perlu
bantuan! Kamu pulang aja!”
Caraka :
(membanting tumpukan
kertas ke meja) “Denger,ya! Aku nggak tahu, kamu
menolak pertolonganku karena kamu pikir bisa mengerjakan ini semua atau karena
kamu pikir aku mungkin cuma bakal mengacaukannya. Tapi, kalau aku nggak
bantu,kamu bukan cuma bakal pulang malam, tapi kamu—bahkan—bakal pulang pagi!
Dan, kamu cewek! Toh, walaupun aku yakin kamu bisa jaga diri,kamu seharusnya
jaga nama baikmu juga!”
Nadya :
(wajah memucat)
Caraka : (mengambil lagi tumpukan
kertas yang tadi dibanting dan mulai mengetik)
Nadya :
“Aku... Aku
pengin melakukan semuanya dan
aku pikir, aku emang bisa melakukan
semuanya.”
Caraka : (menoleh menatap Nadya)
Nadya :
“Awalnya, aku yakin aku
bisa, tapi, sekarang, aku sadar, aku salah.” (tersenyum getir) “Ternyata,
aku nggak sehebat yang kupikir. Ternyata, aku lemah. Mengerjakan hal-hal sepele
aja aku nggak bisa... Bodoh banget kalau aku ingin mengerjakan hal-hal hebat.
Bodoh banget kalau aku ingin diakui sebagai orang yang hebat.”
Caraka :
“Kamu nggak lemah. Kamu
cuma lupa
meminta tolong.”
Nadya : (menangis)
Caraka
dan Nathan sedang berjalan menuju rumah Caraka untuk mengerjakan tugas kelompok
fisika.
Caraka : “Kamu nggak apa-apa?”
(khawatir melihat Nathan yang terlihat lemas)
Nathan :
“Maksudmu?”
Caraka : “Kuat jalan nggak? Kamu nggak
bakal kolaps atau apa, kan?”
Nathan : (tersenyum mengejek) “Kamu
mengkhawatirkanku?”
Caraka : “Ya, soalnya, kalau kamu
kolaps, aku yang susah,”
Nathan : “Jangan khawatir, aku lebih
kuat daripada yang kamu bayangkan,”
Caraka : “Aku harap juga begitu.”
Nathan : (diam)
Caraka : (melihat mulut Nathan
gemetar)
Nathan : (ambruk)
Caraka : (menahan Nathan) “Hoi,
Than!” (panik)
Nathan : (pingsan)
Caraka : (membopong Nathan)
Caraka
dan Nathan berada di kamar Caraka.
Nathan :
“Aku di mana?”
Caraka : “Kamarku. Kamu nggak
apa-apa?”
Nathan :
“Nggak apa-apa. Kok aku
bisa di sini?”
Caraka : “Guess! Dan, ternyata, walaupun dari luar
badanmu kurus, ternyata kamu berat juga. Punggungku rasanya mau patah.”
Nathan :
“Kamu menggendongku?”
Caraka : “Lebih tepatnya, memanggul.
Mau apa lagi? Mau aku seret juga nggak tega.”
Nathan :
“Mana kacamataku?”
Caraka : (memberikan kacamata yang
tergeletak di meja)
Nathan : (memakainya, lalu mengamati
setiap sudut kamar)
Caraka : “Ada yang salah sama kamarku?”
Nathan :
(memperhatikan
poster-poster film yang terpampang di dinding)
“Benar-benar di luar
bayanganku,”
Caraka : “Emangnya, apa yang kamu
bayangkan?”
Nathan :
“Yang bukan kayak gini,
tentu aja. Kamu tertarik sama film, ya?”
Caraka : “I have a dream...”
Nathan :
“Kamu mau nyanyi lagunya
Westlife atau mau baca pidatonya Martin Luther King?”
Caraka : “Aku cuma mau ngomong pake
bahasa Inggris!”
Nathan :
“Ooh... Ngomong-ngomong,
aku heran kenapa kamu nggak nanya siapa Martin Luther King.”
Caraka : “Biar aku tebak, berikutnya,
kamu pasti pengin tahu apa aku kenal sama Ratu Elizabeth II. Dan, jawabanku,
aku nggak kenal. Aku nggak pernah punya kesempatan buat nanya nomor HP dia.
Puas?”
Nathan :
“Aku lupa, pengetahuan
sejarahmu emang nggak bisa diremehkan.” (berjalan ke arah rak buku Raka)
“Kayaknya, ucapanmu yang ngaku baca karya Pram bukan bohong, ya. Aku nggak tahu
kamu suka baca.”
Caraka : “Nggak ada yang pernah
nanya!”
Nathan :
“Aku nggak nyangka.”
Caraka : “Eh, kamu beneran nggak
apa-apa?”
Nathan :
“Jangan khawatir, I’ll survive,”
Caraka : “Sakit apa, sih?”
Nathan :
“Kanker otak,”
Caraka : “Hah? Sori, bisa diulang
lagi?”
Nathan :
“Kanker otak.”
Caraka : “Kamu bilang kanker otak?”
Nathan :
“Kamu budek, ya?”
Caraka : (terdiam)
Nathan
dan Caraka sedang berada di deppan rumah Caraka, menunggu jemputan Nathan
datang.
Caraka:
“Kapan lagi kita bisa
ngerjain tugas fisika?”
Nathan : “Dua hari lagi,”
Caraka :
“Emangnya, kenapa kalau
besok?”
Nathan : “Aku harus ke rumah sakit.”
Caraka : “Tentang penyakitmu itu...”
Nathan :
“Aku nggak perlu belas
kasihanmu, Aku udah terbiasa sama keadaan yang
sekarang. Jadi, jangan mengubahnya. Kamu juga udah kuberi tahu sejak awal,
kuharap kamu menepati janjimu.”
Caraka : (terdiam)
Nathan :
“Percayalah, ini lebih
baik buat kita berdua,” (sebuah mobil mewah buatan Jerman tiba-tiba berhenti di
depan pagar)(bangkit) “Itu jemputanku.”
Caraka : (menatap Nathan)
Nathan :
“Kamu ingin jadi
sutradara, kan?” (masuk mobil)
Caraka : “Itu mimpiku.”
Nathan :
“Kamu yakin kamu bisa
mewujudkannya?”
Caraka : “Aku nggak tahu.”
Nathan :
“Kamu yakin dengan
kemampuanmu sekarang kamu bisa jadi sutradara?”
Caraka : “Aku nggak tahu.”
Nathan :
“Apa kamu sadar kalau
mimpimu ini terlalu tinggi? Kamu nggak takut nggak bisa mencapainya dan bakal
menyesalinya nanti?”
Caraka : “Aku nggak tahu.”
Nathan :
“Kamu sedang berjudi
dengan hidupmu.”
Caraka : “Mungkin. Aku nggak tahu
apa-apa. Aku nggak tahu apa yang aku lakukan ini benar atau salah. Bahkan, aku
nggak tahu bakal jadi apa aku nanti. Tapi... karena nggak tahu apa-apa
itulah, esok hari jadi sesuatu yang layak ditunggu-tunggu, kan?” (nyengir)
“Lalu, tinggal kita lihat apa yang bakal terjadi.”
Nathan : (tertegun)
Caraka : “Kamu nggak apa-apa?”
Nathan :
“Kamu ini emang orang
bodoh yang menyebalkan. Tapi, wajar kamu bisa bilang begitu, kamu nggak punya
kelebihan yang kumiliki.”
Caraka : “Kelebihan?”
Nathan :
“Semua orang bisa aja
bersikap seolah-olah mereka berumur panjang kayak kamu ini,” (tersenyum sinis)
“Tapi aku... Aku bisa memperkirakan sisa waktuku. Jadi, aku nggak mau
buang-buang dengan percuma.”
Caraka
dan Nadya sedang berada di café.
Nadya :
“Pernah di-skors dua kali
gara-gara berantem, nggak peka, bodoh dalam segala hal yang berhubungan sama
sains, selalu bertindak sebelum berpikir,suka ikutcampur urusan orang lain...”
(menyandarkan punggungnya ke kursi) “Jago dalam sejarah, bercita-cita jadi
sutradara film, peduli sama orang lain, baik sama siapa pun, dan berantem cuma
gara-gara dia nggak tahu cara menyampaikan pikirannya lewat kata-kata.”
Caraka :
“Kamu lagi ngomongin
siapa?”
Nadya :
“Aku tahu kamu cuma nyoba
menyadarkan Sarah. Kamu mau nolong dia, kan?”
Caraka :
“Itu yang harus
dilakukan.”
Nadya : “Hah...
kamu emang terlalu baik, Ka. Pantas aja hampir semua cewek di kelas suka kamu.”
Caraka :
“Hah?”
Nadya :
“Kamu nggak tahu, ya?”
Caraka :
“Nggak ada yang pernah
ngomong ke aku.”
Nadya :
“Tentu aja mereka malu.
Mereka nunggu kamu ngomong duluan.”
Caraka :
“Tapi, aku kan, nggak
cakep, nggak pinter, nggak keren. Apanya yang bisa disukai?”
Nadya :
“Karena kamu nggak sadar
kalau kamu keren itulah kamu jadi sangat keren. Orang yang menyukai dirinya
sendiri apa adanya dan nggak pernah berusaha jadi orang lain adalah orang yang
sangat keren. Sama kayak orang yang nggak malu ngaku bahwa dia suka musik klasik
walaupun dia tahu beberapa orang akan ngejek dia,”
Caraka :
“Tunggu, itu... Tentang
apa yang bikin aku tampak keren. Itu pendapat mereka atau cuma pendapatmu
sendiri?”
Nadya : (wajah memerah) “Ka-kayaknya,
mereka juga berpendapat gitu,”
Caraka :
“Hohoho, jadi kamu pikir
aku keren?”
Nadya :
“Standarku tentang itu
emang rendah.”
Caraka : (menggeleng-geleng)
Nadya :
“Tapi kamu emang baik,
kok,” (diam sesaat) “Pernah denger kisah tentang ulat dan kupu-kupu?”
Caraka : (menggeleng)
Nadya :
“Kalau ada kupu-kupu yang
terperangkap di sarang laba-laba, orang cenderung akan menolong kupu-kupu itu
walaupun mungkin si laba-laba belum makan selama berhari-hari. Tapi gimana
kalau yang terperangkap adalah ulat yang belum jadi kupu-kupu? Orang tetap
nolong nggak? Padahal, keduanya sama. Di dunia ini, memang harus cantik supaya
ditolong.”
Caraka :
“Emangnya ada yang kayak
gitu? Kenapa harus cantik biar ditolong? Nggak masuk akal! Dangkal banget!”
Nadya :
“Ini yang kumaksud.”
Caraka : “Hah?”
Nadya :
“Itu yang bikin kamu disukai
cewek-cewek. Kamu nggak pernah milih antara ulat dan kupu-kupu.”
Caraka : (terdiam)
Nadya : “Baru kali ini aku merasa
nyaman ngobrol sama seseorang. Dan, aku nggak mau ini jadi yang terakhir.”
Hari
ini adalah perayaan ulang tahun sekolah. Caraka dan teman-temannya akan
menunjukkan aksi mereka di atas panggung. Kini giliran mereka yang harus
bernyanyi. Saat mereka sedang break, Caraka meminta waktu sebentar. Ia langsung
turun dari panggung dan menghampiri Nadya.
Caraka : “Di mana Nathan?”
Nadya : “Beli minuman.” (nada dingin)
“Emangnya, boleh kamu lari dari panggung kayak gitu?”
Caraka : “Mereka bisa lanjut tanpa
aku.”
Nadya : (diam)
Caraka : “Nad, aku...” (menatap kedua
mata Nadya dalam-dalam) “Kamu tahu sendiri aku nggak begitu pinter ngomong.
Kamu tahu sendiri ototku bicara lebih banyak daripada otakku. Dan, kamu tadi
dengar sendiri kalau suaraku jelek. Jadi, kemungkinan, aku nyanyi kayak Heath
Legder dalam 10 Things I Hate About You atau Jerry O’ Connel dalam Scream 2
adalah nol persen.”
Nadya : (menahan tawa)
Dhihan : “Baiklah! Lagu berikutnya
yang merupakan lagu terakhir merupakan request pribadi dari vokalis kami yang
melarikan diri entah ke mana. Mungkin, dia malu dengan suaranya dan nggak tega
bikin lagu keren berikut jadi trauma buat kalian.”
Caraka : “Kamu sudah dengar sendiri,
kan, tadi? Aku minta mereka menyanyikan lagu ini
buatmu.”
Nadya : (diam)
Dhihan : (mulai bernyanyi)
Caraka : “Inilah perasaanku.”
Nadya : (menatap Caraka)
Caraka : “Aku suka sama kamu, Nad. Aku
akan mengulanginya lagi sampai kamu percaya karena aku sungguh-sungguh. Aku
nggak tahu sejak kapan, dari mana, dan apa yang aku sukai darimu. Tapi, aku
tahu, di dekatmu, aku jadi menyukai diriku apa adanya.”
Nadya :
(wajah Nadya memerah dan
matanya berkaca-kaca)(menutup mulutnya)
Caraka :
“Aku balik ke sana lagi,
ya,”
Nadya :
“Tunggu!”
Caraka : (menoleh)
Nadya : “Kamu curang! Kamu udah bilang
tentang perasaanmu, tapi kamu nggak memberiku kesempatan buat melakukan hal
yang sama.”
Caraka :
“Oke, aku tunggu!”
Nadya :
“Kamu pernah merasakan
patah hati?”
Caraka : (menghela nafas)
Nadya :
“Rasanya sakit sekali.
Perih dan bikin mual, marah, dan sedih dalam satu waktu.”
Caraka : (diam)
Nadya :
“Aku mengalaminya belum
lama ini. Saat kamu dekat sama Sarah setelah kamu bilang suka sama aku, rasanya...
seperti patah hati.”
Caraka : “Hah?”
Nadya :
“Itu perasaanku,”
Caraka :
“Serius?”
Nadya : (mengangguk dan tersenyum) “If
you ever break my heart again, I’ll break your neck.”
Caraka : (jatuh terduduk)
Nadya :
“Kamu nggak apa-apa?”
Caraka :
“Ternyata, merasa senang
dan lega dalam satu waktu cukup menguras energi,”
Nadya :
“Aku nggak nyangka lagu
itu yang kamu pilih,”
Caraka :
“Kamu kaget?”
Nadya :
“Nathan udah
memperingatkan kalau kamu bakal melakukan sesuatu yang norak, tapi aku nggak
nyangka bakal senorak itu.”
Caraka :
“Nathan?”
Nadya :
“Ternyata, kalian emang
saling mengerti tanpa kalian sadari,”
Seseorang : “Nad! Ditunggu di ruang
OSIS!”
Caraka : (menarik tangannya) “Nanti
pulang bareng?”
Nadya :
“Ah! Nggak usah, aku bisa
pulang sendiri, aku...”
(tertawa kikuk) “Ya, ampun, aku emang
sama sekali nggak manis.”
Caraka : (diam)
Nadya :
“Aku nggak bawa helm,”
Caraka :
“Aku bawa. Aku selalu
bawa karena aku selalu nunggu-nunggu kesempatan kayak gini.”
Nadya : (tersenyum dan mengangguk) “Terima
kasih, aku sangat tersanjung.” (pergi)
Sudah beberapa hari
Nathan tidak masuk sekolah. Caraka dan teman-teman dekatnya berniat untuk
menjenguknya. Mereka pun pergi ke rumah Nathan.
Ayah Nathan : “Saya ayahnya Nathan.”
Caraka : “Caraka”
Ayah Nathan : “Saya sudah tau.”
Caraka : “Bagaimana keadaan Nathan,
Om?”
Ayah Nathan : (tampak sedih) “Memburuk.
Kesehatannya turun drastis tiga hari terakhir.”
Caraka : “Apa itu gara-gara...”
(menelan ludah) “pukulan saya? Om tahu,kan, kalau saya yang mukul dia? Apa
karena itu dia...”
Ayah Nathan : “Bukan! Bukan! Saya tahu
tentang pemukulan itu, tetapi bukan itu penyebab kesehatannya menurun. Nathan
jago bela diri, jadi dia pasti bisa melindungi bagian-bagian yang vital dari
pukulanmu.”
Caraka : (merasa lega)
Ayah Nathan : “Kalian pasti sudah tahu
kalau Nathan sakit,”
Caraka : (mengangguk) “Kanker otak.”
Ayah Nathan : “Lebih tepatnya, ada
tumor di otaknya.”
Caraka : “Aku ingin bertemu Nathan,
Om” (pergi ke kamar Nathan)
Nathan : “Buat apa kamu kesini?”
Caraka :
“Nggak cuma aku, ada
Nadya, Sarah, dan Dhihan juga. Mereka lagi di bawah sekarang. Kami semua
khawatir sama kamu.”
Nathan :
“Khawatir? Kenapa?”
Caraka :
“Karena kamu sahabat
kami!”
Nathan :
“Sahabat?” (tersenyum
sinis)
Caraka :
“Kamu nggak nganggap kami
sahabatmu?”
Nathan :
“Itu terdengar lebih
baik. Mulai sekarang, tolong jangan menemuiku lagi. Persahabatan kita berakhir
sampai di sini saja.”
Caraka :
“Kenap—”
Nathan :
“Kita berdua, tahu
bagaimana sulitnya melepaskan orang yang dekat dengan kita. Kamu sudah tahu
tentang penyakitku ini, jadi tolong jangan membuatnya sulit untuk kita berdua.”
Caraka :
“Aku benci cara bicaramu
yang seakan-akan udah nggak ada harapan lagi. Masih ada operasi, kamu masih ada
kemungkinan sembuh.”
Nathan :
“Lalu, kalau aku sembuh,
terus apa? Aku sudah kehilangan semuanya, aku tak tahu lagi apa hidupku ini
layak diperjuangkan.”
Caraka : (diam)
Nathan :
“Aku sudah
merencanakannya sejak semula. Aku mau mati perlahan-lahan, tanpa penyesalan,
tanpa terikat oleh siapa pun, atau apa pun yang akan membuatku tak rela
meninggalkan dunia ini.”
Caraka :
“Jadi, ini sebabnya kamu
jaga jarak sama orang-orang yang mau dekat sama kamu?”
Nathan :
“Ya, dan itu cukup
berhasil.” (menatap kedua mata Raka dalam-dalam) “Sampai kamu datang.”
Caraka : (menelan ludah)
Nathan :
“Kamu merusak semuanya,”
(suara serak,berusaha menahan emosi) “Kamu datang dengan segala mimpimu,
kehidupanmu, dan teman-temanmu, lalu menyeretku ke dalamnya. Kamu seakan
mengejekku dengan memperlihatkan semua hal yang udah nggak mungkin bisa kumiliki.
Kamu membuatku merasa tak rela harus meninggalkan dunia ini. Kamu telah
menggagalkan rencanaku.”
Caraka :
“Kamu masih bisa! Kamu
masih bisa memiliki dan merasakannya!”
Nathan :
“Berhentilah menyeretku
ke kehidupanmu. Ini bukan hidupmu yang sedang kita bicarakan. Ini hidupku dan
biarkan aku membuat keputusan sendiri. Kali ini, kamu salah memilih orang buat
melampiaskan hobi ikut campurmu.”
Caraka : (tertegun)
Nathan : “Aku capek, aku mau tidur.”
(memalingkan wajah) “Kalau saja saat itu kamu menuruti kata-kataku. tetap cuma
jadi teman sekelas, nggak kurang dan nggak lebih. Pasti nggak akan sesakit ini.
Kamu merasakan sakitnya juga, kan? Tapi, semuanya belum terlambat, Ka. Mulai
sekarang, aku bukan sahabatmu lagi dan jangan datang menemuiku lagi. Ini yang terbaik
untukmu. Pulanglah.”
Caraka : (diam) (merasa sedih)
Keesokan
harinya, Caraka datang ke rumah Nathan lagi dan menemui Nathan.
Nathan : “Kamu...” (berusaha untuk
duduk) “Mau apa ke sini?”
Caraka :
“Menemuimu,”
Nathan :
“Setelah ini, jangan
datang lagi! Persahabatan kita sudah berakhir. Jangan pernah menemuiku lagi!”
Caraka :
“Berisik! Kalau kamu
nggak mau ketemu aku lagi, itu terserah kamu! Kalau bagimu persahabatan kita
udah berakhir, itu juga terserah kamu! Tapi, bagiku nggak! Berhenti bikin keputusan
buat orang lain. Aku menemuimu atau nggak, aku yang memutuskan sendiri.”
Nathan :
“Kamu ini benar-benar
keras kepala!”
Caraka :
“Emang, tapi aku nggak
kepala batu kayak kamu! Kalau emang kamu merasa seberat itu buat pisah sama
teman-teman, kenapa nggak berusaha mempertahankan hidupmu sekarang?”
Nathan :
“Gampang kalau ngomong!
Bukan kamu yang dihadapkan pada kematian. Emangnya, kalau kamu di posisiku,
kamu mau dioperasi dengan risiko mati di meja operasi? Hah?”
Caraka :
“Aku mau. Aku mau
melakukannya. Kesempatan sekecil apa pun yang memungkinkan aku bisa berkumpul
lagi sama orang-orang yang aku cintai akan aku ambil, bahkan walaupun risikonya
mati di meja operasi. Harapan sekecil apa pun akan kuperjuangkan demi
orang-orang yang aku cintai dan mencintaiku.”
Nathan :
“Tapi, itu kamu. Jumlah
orang-orang yang kamu cintai dan mencintaimu emang membuat hidupmu patut
diperjuangkan. Beda denganku. Sejak semula, saat ibuku meninggalkan aku, aku
emang pengin mati. Orang yang kucintai dan mencintaiku sudah nggak ada lagi.”
Caraka :
“Pembohong! Kalau emang
kamu pengin mati, kenapa kamu masuk sekolah? Bukannya lebih baik diam di kamar
dan nunggu sampai waktumu datang? Dengan begitu, kan, kamu nggak bakal terikat
sama kehidupan siapa pun yang bikin kamu kayak sekarang, berat melepaskannya.
Jangan bilang kamu melakukannya gara-gara kamu nggak mau dikasihani. Aku tahu
bukan itu alasanmu.”
Nathan : (diam)
Caraka :
“Kamu masuk sekolah
justru karena kamu masih pengin hidup. Kamu pengin ada sesuatu atau seseorang
mengingatkanmu tentang hidup yang layak diperjuangkan. Jadi, sebenarnya, bukan
aku yang menyeretmu ke kehidupanku, kamu sendiri yang membiarkan dirimu
terseret.”
Nathan : (diam)
Caraka :
“Dan, kamu bilang,
setelah kematian ibumu, nggak ada lagi yang kamu cintai dan mencintaimu. Lalu,
kamu pikir kami itu apa?” (menatap Nathan) “Ayahmu, aku, Nadya, Sarah, Dhihan,
Alfi. Kamu mau aku menyebutkan nama anak-anak satu kelas?”
Nathan : (diam)
Caraka :
“Kamu udah jadi bagian
dari kami. Dan, aku tahu, walaupun selama ini kamu selalu kelihatan nggak
peduli, sebenarnya nggak ada yang lebih peduli pada kami daripada kamu. Apa
yang udah kamu lakukan padaku, Sarah, Nadya, Dhihan, dan yang lainnya jadi bukti
semua itu. Sikap dinginmu pun, aku tahu, sebenarnya buat melindungi kami. Jadi,
apa kami nggak cukup layak diperjuangkan?”
Nathan : (diam)
Caraka : “Kamu bilang persahabatan
kita ini bakal menyakitkan buat kita berdua kalau diteruskan. Kamu benar, ini
emang menyakitkan. Sangat, malah. Kenyataan bahwa aku bakal kehilangan kamu
adalah hal paling menyakitkan setelah kematian papaku. Tapi, karena
menyakitkan, aku jadi sadar kalau kamu udah jadi bagian terpenting dalam
hidupku. Kamu jadi sesuatu yang layak diperjuangkan bagiku.”
Nathan : (terdiam)
Caraka :
“Sungguh, Than, kalau
emang menyakitkan, kalau emang berat buat pergi dan melepaskan persahabatan
kita, jangan lakukan. Ambil kesempatan sekecil apa pun itu demi dirimu sendiri
dan...” (menelan ludah) “Demi aku.”
Nathan : (terdiam beberapa saat) “Kamu
ini banyak omong. Kalau aku mati di meja operasi. Aku akan menghantuimu.”
Caraka :
“Beneran?”
Nathan :
“Aku udah nggak sanggup
melawan kepalamu yang keras itu. Mungkin, kalau aku menuruti omonganmu, kamu
bakal berhenti menggangguku.”
Caraka : (meringis)
Nathan :
“Kenapa kamu melakukan
ini semua?”
Caraka :
“Hah?”
Nathan :
“Berusaha keras supaya
aku mau dioperasi. Kenapa kamu melakukannya? Apa karena kamu menganggap
kusahabatmu?”
Caraka : “Aku
cuma nggak bisa membiarkanmu begitu aja.”
Nathan : (tersenyum sinis) “Plagiat!”
Caraka : (tertawa)
Operasi
Nathan sudah dijadwalkan, tiga bulan lagi. Selama tiga bulan itu, dia tidak
pernah dibiarkan sendirian meskipun sehari. Raka, Nadya, dan Sarah bergantian
menjaganya. Cuma, karena setiap kali melihat Nathan, Sarah pasti menangis, akhirnya
setiap giliran Sarah, Raka atau Nadya ikut menemaninya. Sementara itu, Dhihan dan
yang lain datang setiap akhir minggu. Nathan benar-benar telah menjadi bagian
dari mereka. Nathan mengalami banyak sekali perubahan tiga bulan terakhir itu—selain
kepalanya yang jadi gundul dan berat badannya yang menyusut tajam. Dia tampak
lebih ceria dan sering melontarkan lelucon-lelucon yang selalu bisa membuat
teman-temannya tertawa. Dia jauh lebih menyenangkan daripada yang mereka kenal
selama ini. Mungkin sebenarnya, itulah sifat aslinya sebelum maut merenggut
ibunya dan penyakit itu datang. Teman-temannya pun jadi semakin menyayanginya
dan sangat berharap operasinya berjalan lancar. Mereka, terutama Raka, tidak
rela melepas Nathan pergi.
EPILOG
Nathan
meninggal satu tahun kemudian. Operasi yang dijalani berhasil mengangkat
tumornya. Namun, karena sudah telanjur menyebar ke daerah-daerah vital,
nyawanya tidak terselamatkan lagi. Hari ini adalah hari pemakamannya. Raka
berdiri jauh dari tempat pemakaman. Dia tidak sanggup melihat jasad Nathan
dikebumikan. Saat sedang memperhatikan prosesi pemakaman dari tempatnya
berdiri, tiba-tiba seseorang menyentuh pundak cowok itu. Raka menoleh dan
melihat Bu Ratna sudah berdiri di belakangnya.
Bu Ratna : “Ini ada titipan dari ayah
Nathan untukmu,” (menyodorkan selembar amplop)
Caraka : “Apa ini?” (mengambil amplop
itu)
Bu Ratna : “Sesuatu yang Nathan tulis
untukmu di hari-hari terakhir hidupnya. Ibu pergi dulu.” (pergi)
Caraka : (membaca suratnya)
|